Manokwari, 15 Januari 2021 – Bimbingan Teknis dan Workshop penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi Bentang Laut Kepala Burung (BLKB) Papua dilaksanakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Barat bekerja sama dengan LPPM Universitas Papua, Conservation International (CI) Indonesia, dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), 13–15 Januari 2021. Tujuan kegiatan ini adalah memperkenalkan secara rinci pedoman teknis evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi (EVIKA) dan melakukan praktek penilaian efektivitas pengelolaan KKP di BLKB dengan perangkat EVIKA. Selain Balai Besar TNTC, peserta dari kegiatan ini berasal dari Satker KKPN Raja Ampat, UPTD KKP Kepulauan Raja Ampat, UPTD KKP Jeen Womom Tambrauw, UPTD KKP Kaimana–Fakfak, Pengelola KKP Maksegara, Pengelola KKP Sorong Selatan, Yayasan Nazareth Papua, dan WWF
Indonesia.
Sejak tahun 2012, efektivitas pengelolaan KKP dinilai secara rutin menggunakan perangkat yang disebut dengan E-KKP3K atau Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir, dan Pulau–pulau Kecil berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal KP3K Nomor Kep.44/KP3K/2012. Perangkat E-KKP3K menilai efektivitas pengelolaan KKP dengan lima tahapan yang dilambangkan dengan warna Merah untuk tahap inisiasi, Kuning untuk tahap pendirian, Hijau untuk pengelolaan minimum, dan Emas untuk KKP yang berfungsi penuh atau telah mandiri. Namun dalam implementasinya, E-KKP3K dinilai belum mampu menampilkan efektivitas pengelolaan KKP yang sesungguhnya di lapangan dan belum mampu menggambarkan upaya-upaya nyata yang sudah dilakukan oleh pengelola KKP. Oleh karena itu Kementerian Kelautan dan Perikanan RI melalui Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut melakukan revisi dan modifikasi perangkat penilaian tersebut dengan mengeluarkan Surat Keputusan No 28 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi (EVIKA).
Dalam kegiatan Bimbingan Teknis dan Workshop ini, peserta diberikan penjelasan apa dan bagaimana cara melakukan penilaian efektivitas KKP dengan perangkat EVIKA. Penilaian EVIKA memiliki konsep yang hampir mirip dengan penilaian menggunakan METT (Management Effectiveness Tracking Tool) yang tidak asing dan sering dilakukan oleh UPT Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Terdapat kriteria, indikator dan bobot dalam Penilaian EVIKA. Kriteria terdiri dari input, proses, output, dan outcome, serta masing–masing kriteria mencakup indikator di dalamnya. Setiap indikator terdapat beberapa pertanyaan yang harus dijawab dengan mencantumkan alat verivikasinya untuk menentukan skor/nilai. Hasil akhir dari penilaian akan menentukan efektivitas pengelolaan KKP. Apabila nilai akhir mencapai <50% maka status dari KKP tersebut dikelola secara minimum, 50–85% status dikelola secara optimum, dan >85% status dari KKP telah dikelola secara berkelanjutan.
Peserta kemudian melakukan praktik simulasi penilaian EVIKA yang akan didampingi oleh satf Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL) Kementerian Kelautan dan Perikanan. Penilaian EVIKA dilakukan pada TWP Kepulauan Raja Ampat, SAP Raja Ampat, SAP Waigeo Barat, KKPD Kaimana, TP Jeen Womom Tambrauw, dan Teluk Berau–Teluk Nusalasi Van Den Bosch KKPD Fak-Fak. Setelah dilakukan penilaian EVIKA, KKP yang telah dinilai memiliki status dikelola optimum, kecuali KKPD Fak-Fak dan Kaimana yang statusnya dikelola minimum.
Wilayah BLKB Pulau Papua saat ini memiliki dua puluh kawasan konservasi perairan dengan total luas lebih dari 4.5 juta hektar, memberikan konstribusi hampir 25% dari luasan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Indonesia. Efektivitas pengelolaan KKP dapat memberikan dampak positif secara ekologi dan sosial ekonomi masyarakat, sehingga peningkatan efektivitas pengelolaan KKP mesti diperhatikan. Pengelolaan KKP yang efektif harus selalu menyesuaikan dengan dinamika dan perkembangan di lapangan.
Dengan Penilaian EVIKA ini diharapkan dapat melihat keberadaan pengelolaan KKP secara riil di lapangan, sehingga tidak ada istilah kawasan konservasi di atas kertas (paper park) atau kawasan konservasi hanya sebagai pusat biaya (cost-center) yang tidak menghasilkan nilai ekonomi.
Oleh :
Ganis Citra Purmadewi, S.Hut/PEH Pertama