Kuatir di Kwatisore
Sekitar pukul 17.00 WIT. Angkasa menjelang senja kali ini tak menampakkan tanda-tanda akan sepermai senja kemarin yang keunguan. Mumpung sisa-sisa pendaran matahari masih beredar di langit, untuk ketiga kalinya sejak kemarin, saya memutuskan untuk snorkeling, lagi.
Sebagai orang yang sudah banyak sekali catatan dosanya, saya merasa tak sanggup lagi memanggul dosa-dosa tambahan yang ukurannya besar-besar jika saya mendustakan undangan Tuhan untuk snorkeling – atau setidaknya hanya main-main air – di perairan depan resor Kalilemon. “Mandi” dan berendam di dalam air yang sama dengan air laut Samudera Pasifik sana. Dhipta, yang sejak kemarin paling getol mengajak saya snorkeling, malah pilih mangkir dari aktivitas menikmati rizki ilahi ini. Barangkali ia kelelahan usai kami naik turun bukit memburu sosok burung cenderawasih tadi petang. Lumayan mengecewakan, kendati kicau-kicau merdunya memantul-mantul di hutan, namun sosoknya enggan menyapa kami yang sudah dua jam berdiri mendongak dengan sepasang mata meneropong ke mana-mana.
Saya memilih mengalihkan kekecewaan itu. Mana tahu, kima raksasa dan karang-karang cantik lainnya sanggup melipurnya. Belum lagi gerombolan ikan warna-warni yang meliuk-liuk dalam biru laut Kwatisore.
Sontak saya mengajak Rahmat, rekan seumuran saya untuk bersama-sama memenuhi undangan surgawi ini. Juga saya mengajak Ran, seorang rimbawan yang kebetulan satu rombongan dengan saya selama di Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC).
“Ayo, lompat,” Rahmat menyuruh saya.
“Ayo, sama-sama saja lah!” saya melirikkan mata pada Ran juga.
Kami bertiga mengambil ancang-ancang, kira-kira tiga meter menjauh dari ujung dermaga, sebelum berlari kencang melempar badan sendiri ke laut. Berbekal ukuran kaki yang agak kepanjangan, saya jadi orang paling depan yang tercebur. Pencapaian itu berubah jadi naas ketika Rahmat, tepat di belakang saya, menubruk punggung ketika saya telah menyusup ke air. Yang terjadi setelah itu: saya terjerembab ke dasar dengan kaki menyosor bebatuan karang.
Saya segera keluar dari air, duduk di tangga dermaga, memegangi dan menyirami kaki dengan air laut. Darah merembes dari mata kaki sebelah kanan yang tergores.
Ran menatap mata kaki saya yang dialiri darah segar, “Yah, besok ndak bisa berenang deng hiu paus.” Orang Jakarta macam saya, untuk berenang bersama ikan terbesar seplanet bumi itu di Kwatisore, perlu merogoh belasan juta rupiah. Saya memperoleh peluang itu tanpa sepeser pun.
Hiu paus, yang oleh masyarakat setempat dijuluki gurano bintang, berbeda dengan hiu-hiu pada umumnya. Makanannya hanya ikan-ikan kecil. Mereka tak terpikat pada aroma darah. Tetapi, masalahnya, “Di situ ada hiu black tip juga di bawah laut,” kata Ran memperingatkan. Gurano takkan memangsa saya walau kaki saya berdarah; namun lain halnya dengan hiu black tip.
Hati pun memiuh. Peluang yang mungkin hanya akan menimpa saya sekali seumur hidup – mudah-mudahan tidak – terancam bubar jalan, semata gegara kecelakaan konyol barusan – yang rasanya juga terlalu berlebihan disebut kecelakaan. Dan, ya, dibandingkan kemarin sore, langit jelang senja kali ini betul-betul jelek sekali. Mendung dan suram, mewakili nuansa hati.
Belum genap pukul enam, fajar telah membangunkan saya untuk bergegas turun dari ambin tidur di rumah panggung resor Kalilemon, menjemput matahari terbit. Dan, voila! Surya keemasan itu telah menyeruak dari sela-sela tudung mendung. Rupanya kerumunan awan kemarin masih belum beranjak. Surga kecil bumi Papua ini memang senang membuat (si)apa pun betah, bisik hati saya.
Sebelum menemui Gurano di bagan ikan perairan lepas sejam mendatang, saya menyempatkan diri melahap beberapa potong pisang goreng di dermaga seraya menyerap suasana pagi alam Papua. Kidung burung dan tonggeret yang berkumandang dari hutan di balik resor Kalilemon melagu tanpa nada, diiramai deru ombak yang pecah di pantai. Tepat di bawah kaki saya yang gelantungan di ujung dermaga, formasi ikan-ikan kecil berdansa dalam riak gelombang berwarna pirus jernih. Saya menghayati betul tiap kunyahan pisang yang dibuat semakin nikmat oleh buaian angin sisa semalam. Sungguh pagi yang damai.
Semalam, saya membebat mata kaki yang lecet dengan lumuran obat cina yang memang saya bawa untuk jaga-jaga. Sebelum lelap, saya melayangkan doa paling khusuk selama perjalanan. Ya Tuhan Raja Manusia, kapan lagi saya ke Papua gratis? Pagi ini, kering sudah luka di mata kaki. Mungkin karena alam Papua betul-betul surga yang jatuh ke bumi, doa saya jadi lebih lekas tiba ke alamat Ilahi. Pantas saja, di Jakarta, kota neraka itu, doa saya nyaris muskil terkabul.
Gurano, saya datang!
Saya, Rahmat, dan Ran meluncur dengan speedboat yang sama, kira-kira lima belas menit menjauh dari resor Kalilemon sebelum ditambatkan ke kayu-kayu bagan apung di tengah laut. Di sekeliling, burung-burung camar melayang rendah, mondar-mandir memantau calon korban. Cahaya pagi masih terhalau oleh mendung yang menaungi laut. Gejolak ombak bergolak lumayan, lantaran angin pagi ini tak cukup tenang. Mungkin sedang kelewat girang.
Ketimbang semakin lama merasa nek di speedboat, saya langsung meniti kayu-kayu bagan yang ikut bergidik seiring kaki berderap. Bagan ini tempat bermukim sekaligus ladang rezeki nelayan-nelayan dari Maros, Sulawesi Selatan. Kabarnya, mereka sanggup bertahan di tempat ini lebih dari tiga bulan. Tiga menit saja, saya sudah pengin muntah. Di ujung bagan, nelayan-nelayan itu menyiram-nyiram laut dengan air laut yang mengandung gelimpangan ikan-ikan puri dari ember. Tujuannya untuk mengundang Gurano santap pagi. Sejurus kemudian, sosok raksasa berwarna gelap itu menyelinap dari kedalaman. Di Kwatisore, kemunculan Gurano memang tak kenal musim.
Ya Tuhan, besar betul ini makhluk. Tak heran, dulu, masyarakat setempat menganggapnya hantu laut. Akankah raksasa ini melepeh saya kalau saya tercemplung ke mulut besarnya? Saya benar-benar terkesiap. Tiga ekor Gurano sekaligus, yang panjangnya seukuran bus Mayasari Bakti, melayang-layang di permukaan dengan kepalanya yang besar tapi gepeng semacam lele raksasa, tanpa kumis. Kalau sudah begini, tanpa perlu mata kaki yang lecet pun, nyali saya terlampau kecil untuk berenang bersama Gurano, kendati mereka jinak dan bahkan senang bermain bersama manusia.
Akan tetapi, rasa mual yang kian menyodok-nyodok ulu hati memaksa saya mencukup-cukupkan nyali. Saya mengenakan fin dan google, melepas kaos, lalu masuk ke laut.
Saya mendadak lumpuh. Terperangah mendapati sang raksasa penghuni Teluk Cenderawasih itu seakan digantung di permukaan laut. Kepalanya terpacak pada tebaran ikan-ikan puri di permukaan, sedangkan batang ekornya yang tak kalah besar mengayun-ayun jauh di dalam laut biru yang menggelap di bawah sana. Beberapa ikan remora menempel di sekujur tubuhnya.
Saya berusaha tetap tenang sembari memperhatikan lebih seksama sosok berwarna kelabu gelap bertutul putih itu. Upaya menjaga jarak darinya lebih disebabkan oleh rasa takut ketimbang semangat konservasi – jarak yang diizinkan ketika menyelam bersama Gurano ialah dua meter dari tubuhnya dan tiga meter dari ekornya. Gurano dewasa, konon, mampu mencapai ukuran sepanjang 12 meter dengan bobot 15 ton. Rusuk saya pasti remuk jika tersabet ayunan ekornya.
Semakin intens saya lihat, tubuh besar itu tampak semakin memikat. Saya mencoba menepikan rasa takut, lantas lambat-lambat mendekat. Lambat sekali, sebelum akhirnya balik arah dan terbirit-birit mencari dinding speedboat ketika Gurano pertama telah usai giliran makannya, lalu berbelok ke arah tubuh saya yang ringkih ini.
Jantung berlarian di dada. Saya mencuatkan kepala ke udara, mereguk sebanyak-banyaknya udara sekitar buat melegakan napas yang terengah-engah. Sepasang tungkai yang ujungnya terpasang fin terus mengayun-ayun di dalam laut. Di sebelah saya, Rahmat baru saja mencelupkan diri ke air.
Saya terus mengayun-ayunkan kaki supaya lekas tenang hingga ayunannya menabrak sesuatu. Tampaknya saya baru saja menendang tubuh Rahmat di dalam air. Saya mencelupkan kepala untuk memastikan Rahmat baik-baik saja.
Clup. Celaka… Gurano tak sampai satu meter di bawah selangkangan saya!
Oleh : Vitorio Mantalean (Mahasiswa, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Perjalanan bersama tujuh orang pemenang lomba Green Ramadhan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 23-28 Oktober 2017