PARA PENJAGA SURGA

“Abang tra bosan kah belasan tahun di sini?”

“Mana bisa sa bosan kalau tempatnya seperti ini,” ungkap seorang jagawana, sebut saja Ran, di tepi dermaga.

Kami tengah melamun di satu sudut surga di bumi Papua: Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC). Kawasannya menghampar 1.453.500 hektar di Provinsi Papua dan Papua Barat; 90%-nya lautan. TNTC merupakan taman nasional laut terluas seantero negeri, dengan 836 jenis ikan, 460 jenis terumbu karang, 181 jenis burung, hingga belasan jenis mamalia dan reptil berbagi rumah di sana. Penyu, ikan duyung, lumba-lumba, kima (karang raksasa), dan hiu paus menjadi lima fauna prioritas yang dilindungi.

Senja merona jambu. Segaris mega tipis melintang di angkasa ikut-ikutan merona. Si matahari sudah lebih dulu terendam di lautan, tinggal tempias cahayanya saja yang masih menoreh warna di barat angkasa. Angin menepis-nepis tubuh basah kami berdua yang tengah duduk mencangkung di tepi dermaga, usai snorkeling di perairan depan resor Kalilemon. Riak lautan Kwatisore yang tersuguh di depan hidung berwarna biru-keunguan, menghampar ke sisi utara hingga membentur langit. Sementara itu, sisi selatan ialah Resor Kalilemon berlatar hutan-hutan rapat di perbukitan, dihiasi beberapa julang pohon kelapa serta dua-tiga speedboat yang berjoget-joget digoda ombak.

Kalau surga di langit sana punya malaikat Ridwan yang menjaga, surga di Papua sini punya jagawana. Jagawana bukan malaikat yang dianugerahi setitik kuasa dari Tuhan untuk mengawasi jagaannya. Jagawana ialah manusia biasa, yang – entah mengapa – mau-maunya bertugas layaknya malaikat. Khusus jagawana di Papua, seperti Ran, justru kedapatan tugas menjaga sekelumit surga di bumi. Dan Ran – mewakili Ran-Ran lain di berbagai kawasan konservasi – tak seperti malaikat Ridwan yang hanya buka-tutup pintu surga, meskipun keduanya sama-sama hangat dan doyan bersenyum-senyum. Rintangan demi rintangan harus mereka taklukkan demi menjaga surga.

***

Teluk Cenderawasih identik dengan sosok Gurano Bintang, atau yang kadang-kadang disebut hinio tanibre, penamaan masyarakat setempat pada spesies hiu paus. Ikan terbesar di dunia ini (bukan paus biru, sebab paus termasuk kategori mamalia) dulu menjadi momok bagi para nelayan. Panjangnya sanggup mencapai seukuran truk. Warnanya gelap dengan tutul-tutul putih. Dulu, masyarakat setempat meyakini Gurano sebagai hantu laut yang bakal mendatangkan petaka andai berpapasan di laut lepas.

Padahal, dibandingkan dengan hiu-hiu pada umumnya, faktanya Gurano justru spesies hiu yang ramah. Belum pernah tercatat kasus serangan Gurano pada manusia. Kalau hiu-hiu pada umumnya bergigi runcing dan banyak, Gurano ompong, sehingga cuma makan ikan puri (ikan seukuran jari manusia) dengan cara meneguknya dalam jumlah besar bersama air laut dengan mulutnya yang menganga lebar. Sepintas, perawakan Gurano malah menyerupai ikan lele raksasa tanpa kumis menjumbai.

TNTC, khususnya perairan Kwatisore, Nabire, ialah singgasana Gurano. Di Kwatisore, Gurano melayang hingga permukaan air. Kemunculannya selalu diiringi dengan ikan-ikan kecil lainnya yang segera menjadi tangkapan para nelayan, yang usut-punya usut, merupakan para pelaut dari Maros, Sulawesi Selatan.

Keberadaan para nelayan Maros yang bisa berbulan-bulan tak beranjak dari bagan-bagan apung di Kwatisore telah direstui oleh para nelayan lokal. Syaratnya: memanen hasil laut secara ramah lingkungan, memakai teknologi sederhana seperti jaring dan pancing dalam mencomot ikan. Para nelayan lokal tak merasa terusik dengan hilir-mudiknya nelayan-nelayan dari luar Papua yang turut pengin menikmati limpahan hasil laut Teluk Cenderawasih. Mereka hanya akan dibuat berang oleh para nelayan asing yang memanen hasil laut dengan memakai bius ikan, rawai, dan bom.

Pembiusan ikan umumnya dilakukan oleh nelayan selam. Nelayan-nelayan ini menceburkan diri hingga kedalaman 60 meter lebih menggunakan selang yang terhubung dengan mesin kompresor. Cara ini memungkinkan mereka bertahan cukup lama di dalam air, sehingga berkesempatan untuk menyuntikkan bius ke ikan-ikan karang, semacam kerapu atau kakatua supaya cepat “menyerah”. Namun, selain ikan-ikan karang, para nelayan selam yang jauh-jauh datang ke sini pasti mengincar sang primadona langka di dasar laut: teripang dan kima.

Dulu, penggunaan rawai pun marak ditemui. Rawai ialah tali pancing bercabang. Tali dibuat mengambang di permukaan laut sepanjang 1 kilometer lebih, dengan sejumlah tali pancing berkail yang menjulur ke bawah. Sekali kail, nelayan mampu meraup begitu banyak ikan sekaligus, masa bodoh jenis, usia, dan ukuran ikannya.

Pengeboman laut dahulu sempat pula dilakukan penduduk lokal. Malahan, karang-karang di tempat saya snorkeling bersama Ran petang ini tak lain karang-karang mati berwarna pucat yang disebabkan oleh pengeboman di masa silam. Cara ini sudah lama ditinggalkan penduduk lokal. Mereka sendiri merasa menderita, sebab melaut jadi mesti jauh ke tengah teluk, padahal dulu ikan tumpah-ruah di halaman rumah. Akibatnya, sekarang, kapan pun mereka memergoki nelayan asing mengebom laut, mereka takkan tinggal diam.

Pelaut-pelaut macam ini bukan bandit-bandit yang diincar oleh jajaran Menteri Susi di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Penenggelaman kapal oleh KKP lebih banyak menyasar kapal-kapal besar milik korporasi transnasional raksasa, yang jika sekali rampok – illegal fishing, sanggup meraup sekian ton ikan sekaligus. Sementara itu, pelaut-pelaut macam ini tidak mampu serakus itu. Mereka pun bukan golongan illegal fisher, namun cara mereka dalam “menambang ikan” tadi tergolong dalam kategori destructive fishing practice, aktivitas perikanan yang merusak, yang pada saatnya, punya dampak serupa dengan illegal fishing: menipisnya ketersediaan hasil laut.

Celakanya, bagaimana caranya menjamin pelaut-pelaut sialan macam itu tak lagi wara-wiri curi-curi ikan dengan cara tak bertanggung jawab di luasan laut yang tergelar luas nyaris 1,5 juta hektar, yang gelap mencekam di waktu malam, yang diselingi oleh pulau-pulau tak berpenghuni, yang dari satu sudut mana pun mereka leluasa menyelinap dan menyelundup? Semua sudut lautan, bisa dibilang, ialah celah terbuka untuk memasuki TNTC. Boleh jadi, ini perkara terberat bagi para jagawana

Mari berhitung. Dari luas 1.453.500 hektar, TNTC dibagi menjadi 3 wilayah kerja BPTN (Bidang Pengelolaan Taman Nasional), yakni BPTN wilayah 1 Nabire, wilayah 2 Wasior, dan wilayah 3 Yambekiri. Kita jadikan BPTN wilayah 1 Nabire sebagai sampel – sebab kunjungan saya ke TNTC hanya berkutat di wilayah Nabire saja. Wilayah kerja ini kebagian kawasan seluas 380.930 hektar, paling sempit ketimbang wilayah Wasior (686.430) serta Yambekiri (386.140).

BPTN Wilayah 1 Nabire cuma mempekerjakan total sejumlah 13 pegawai dengan rincian: 1 Kepala Bidang, 2 Kepala Seksi (terdapat dua seksi PTN di BPTN 1: Kwatisore dan Yeretuar), serta 10 Fungsional PEH (Pengendali Ekosistem Hutan) dan Polhut (polisi hutan). Tidak ada pegawai kesekretariatan maupun bendahara, sehingga pekerjaan tersebut ditunaikan secara rangkap jabatan. Meskipun terdapat Fungsional Polhut, namun kegiatan patroli selalu ditunaikan ramai-ramai. Perhitungan di atas kertas, perbandingan jumlah penjaga dan wilayah yang dijaga nyaris mencapai 1 banding 30.000 – setiap pegawai BPTN wilayah 1 Nabire kedapatan jatah 30 ribu hektar untuk diawasi setiap hari, nyaris seluruhnya lautan dengan sebagian kecil daratan.

Ini memang hanya hitung-hitungan kasar. Mungkin saja, keadaan di lautan tidak menuntut pengawasan sedemikian ketat, sebab seringkali upaya terbaik bagi konservasi ialah membiarkan kawasan konservasi steril dari tangan manusia.

Akan tetapi, bagaimana jika tangan-tangan para nelayan sialan yang justru mengusik upaya konservasi? Apa yang bisa dilakukan jagawana ketika mendapati pelanggaran? Secara jumlah, tim jagawana berpostur cungkring. Mesin speedboat pun hanya berkapasitas 40 PK. Ditambah lagi, mereka tidak punya kelengkapan senjata seumpama polisi guna menindak mereka. Namun, di atas semua itu, ada urusan yang sungguh-sungguh memoroti upaya konservasi, yang sepele tapi menentukan, klise tapi tak kunjung beres: dana.

Saya tak tahu apakah ini berarti negara masih setengah hati memperhatikan upaya konservasi dan betapa tak main-mainnya pengorbanan jagawana. Tahun 2012, anggaran pemerintah pusat yang diperuntukkan bagi kawasan konservasi hanya sebesar 4 USD atau berkisar 50-60 ribu rupiah/hektar/tahunnya (Kontan.co.id, 2012)1. Dengan keanekaragaman hayati yang tak sehebat Indonesia, pada tahun 2006 saja, Malaysia dan Thailand telah menggelontorkan dana sejumlah 18,5 US Dollar dan menyuntikkan 20,65 US Dollar (dokumen resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2006)2. Walaupun anggaran bagi suatu kawasan konservasi masih akan ditambah dengan dana dari pihak-pihak lain, seperti pemerintah daerah, LSM, dan donor-donor lain, hingga kapan pun, saya tak habis pikir atas tidak masuk akalnya penetapan anggaran bagi konservasi.

Bagaimana jika dana yang sudah sangat imut itu masih pula lama cairnya? Mungkinkah para jagawana harus urun dana untuk membiayai kegiatan patroli? Bagaimana jadinya ketika dana pribadi yang telah dikucurkan tak sanggup dilunasi secara penuh pada tahun selanjutnya karena pemangkasan anggaran?

***

Pantai Wage. Dari titik ini, tiga hari yang lalu, kami berpindah dari Kota Nabire menuju resor Kalilemon. Siang ini, kami kembali memijak pasir putihnya, dengan gumpalan awan gelap yang berkerumun di langit barat. Rombongan ibu-ibu tengah berfoto sambil menyedot air kelapa muda di naungan nyiur, sebelum bertanya heran.

“Kok, kalian dulu, sih, yang nyampe? Pak Syarif, Ujang, Dipta, mana?”

“Lha, mereka tadi lebih dulu berangkat, kok?” saya membalas sebisanya.

Ketiganya memang pulang lebih awal daripada kami menggunakan speedboat kedua yang tiba di resor. Speedboat pertama sudah sepuluh menit sebelumnya membawa rombongan ibu-ibu. Saya, Ran, dan beberapa orang lain berangkat paling bontot dibonceng speedboat ketiga.

“Main ke Pulau Pepaya atau Pulau Nuburi mungkin, Bu,” Ran melempar opsi yang lebih logis. Awalnya, kami memang berencana mampir ke kedua pulau kecil itu, tetapi urung menilik mendung yang memburu. Terperangkap hujan lebat di tengah laut ialah lelucon yang mengenaskan.

Empat puluh menit berselang, speedboat yang dibicarakan tadi akhirnya terdengar dengung mesinnya, sebelum mencapai tepi laut. Para penumpangnya lekas menggulung celana, lalu berjingkat terburu dan terengah-engah.

Ternyata, tadi mesin speedboat itu tercekat dalam perjalanan. Merekaterombang-ambing di tengah laut. Ujang berujar, perasaan ringkih di tengah alam raya berdesir di sekujur kulit. Sensasi mual menyodok-nyodok ulu hati. Dengan mendung yang seolah-olah siap menerkam di tengah ketidakpastian hidupnya mesin, pikiran pun kacau-balau. Ujang, lalu, mempertimbangkan kemungkinan lompat dari speedboat untuk berenang ramai-ramai ke pulau terdekat yang jaraknya tampak dekat di mata. Sial, life vest  yang tersimpan di speedboat hanya satu lembar. Masih diceritakan Ujang, kontan, dia lumayan naik pitam. Dia tak habis pikir, bagaimana mungkin perjalanan laut ini tidak mengantisipasi risiko keselamatan yang serius? Asal jalan saja, tanpa life vest mencukupi, tanpa cadangan mesin?

“Asal jalan saja, tanpa life vest mencukupi, tanpa cadangan mesin?” kalimat Ujang menggema, memantul-mantul bagai bola di dalam kepala. Mereka bertiga sudah merasa amat sangat gawat hanya dalam 40 menit, dengan daratan di depan mata. Para jagawana bagaimana?

Lamunan saya terbang pada hal terburuk yang mungkin saja dihadapi para jagawana dalam tugas mulianya. Patroli mengarungi teluk ramai-ramai menjejali speedboat, tak peduli nama jabatan, saling urun dana guna membeli bahan bakar. Bisa jalan sudah syukur, sambil berharap agar performa mesin tetap prima, juga menyiapkan beberapa jeriken kosong sebagai pengganti life vest yang cuma ada satu itu, bahkan dalam keadaan tanpa radio komunikasi. Dan perjalanan macam itu wajib ditunaikan rutin.

Bagaimana ketika dalam suatu kali perjalanan, mereka membutuhkan pertolongan mendadak di suatu titik di lautan senyap, yang bukan habitat manusia mana pun, yang jauh dari mana-mana, yang tak seorang pun tahu keberadaannya, sementara mata-mata maut mengintai dari berbagai penjuru? Atau mereka tak punya rasa takut mati? Boleh jadi begitu, sebab andai mati toh, mereka mati di tengah-tengah surga?

***

Bagi para jagawana, hormat saya selamanya, selapang TNTC, seluas tanah, sebanyak batu. Tanpa perlu melintang mengadang, rintangan itu sendiri justru berwujud laut yang lapang membentang, ditambah kucuran dana yang terasa kurang. Biarpun demikian, Ran dan kawan-kawan tetap saja sanggup memberantas eksploitasi kawasan konservasi sekaligus pelan-pelan menyemai benih konservasi di benak masyarakat lokal. Pada era kini, yang apa pun dipertontonkan dan dipamerkan, pencapaian para jagawana di TNTC menaklukkan rintangan mahasulit itu justru tak tersiar ke mana pun, diredam hutan-hutan suram, terpendam di laut dalam.

Alih-alih kecewa, para jagawana malah akan terus mengumbar senyum, persis Ridwan sang malaikat yang sama-sama senantiasa setia menjaga surga.

Avignam Jagat Samagram. Hidup jagawana!

Oleh Vitorio Mantalean/Kompas

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *